Jakarta, JURNALBABEL – Isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) adalah isu yang masih mengganjal terutama menjelang Pemilu 2019.
Sejatinya, isu SARA sudah tidak lagi menjadi bahan perdebatan di Indonesia sebab para pendiri bangsa Indonesia sejak dahulu sudah merumuskan dan menjadi satu kesepakatan bersama bahwa keberagaman adalah kekayaan bangsa Indonesia bahkan menjadi elemen utama terbentuknya negara Indonesia.
Wakil Ketua Fraksi PPP MPR RI Syaifullah Tamliha mengungkapkan hampir semua pemilihan Presiden di dunia temasuk negara besar Amerika Serikat (AS) isu SARA ada. Terutama pertarungan antara Donald Trumph dengan Hillary Clinton.
Dari pengamatan Tamliha, banyak elemen-elemen di AS seperti Dubes dan para diplomat memprediksi Hillary Clintonlah yang akan menduduki kursi Presiden AS. Sangat sedikit yang memprediksi Trumph menang.
“Tapi ternyata Donald Trumphlah yang menang. Tenyata saya mengamati bahwa kemenangan Trumph karena isu agama. Trumph didukung para pendeta yang tidak menghendaki Hillary menjadi Presiden. Ada beberapa masalah yang menjadi isu agama dari Hillary yang tidak didukung gereja-gereja seperti janji Hillary jika terpilih menjadi Presiden akan mengesahkan perkawinan sesama jenis,” kata Tamliha dalam diskusi Empat Pilar dengan tema ‘Potensi Adanya Isu SARA dalam Pemilu’ di media center, gedung DPR, Jumat (1/3/2019).
Isu SARA ini, lanjut Tamliha, juga terjadi di Yaman antara Houthi dan Presiden Yaman Abed Rabbo Mansour Hadi. Presiden Hadi diklaim sebagai beraliran Sunni dan Houthi beraliran Syiah.
Konflik antara Sunni dan Syiah selalu ada di Yaman atau tidak pernah akur sampai ke ranah politik.
“Di Indonesia, potensi SARA bukan lagi antar agama tetapi antar aliran dalam satu agama dan makin kencang muncul bergentayangan di media-media sosial hampir setiap hari. Jadi politik aliran dan aliran agama yang paling berpengaruh pada Pilpres 2019, coba telusuri media-media sosial banyak itu,” ungkapnya.
Dikatakan Tamliha, isu SARA serta aliran di Pilpres 2019 akan sangat berbahaya berpotensi konflik. Namun, Tamliha mengapresiasi para elit-elit organisasi-organisasi agama yang besar sama-sama memiliki pandangan yang demokratis terhadap Pilpres.
“Malah saking demokratisnya ada keluarga kalangan elit organisasi agama yang berbeda-beda pilihannya pilpresnya. Dan ada organisasi agama besar yang memilki basis massa yang berbeda pilihan capresnya,” tegas Anggota Komisi I DPR ini.
Dalam kesempatan yang sama Manager Riset dan Program The Indonesia Institute (TII) Yossa Nainggolan mengungkapkan, bahwa munculnya isu SARA memang ada sejak dulu dan bukan hanya dalam Pilpres saja.
Karena memang isu keragaman dan pluralisme di Indonesia tidak akan pernah selesai.
“Dalam konteks kekinian, mengapa isu SARA tetap ada dan makin meruncing, karena ada sisi pemanfaatan. Isu SARA dilihat akan menggenjot popularitas dan mendegradasi popularitas lawan. Media sosial ternyata menjadi lahan subur memproduksi isu SARA, jadi memang kita semua mesti bijak dalam hal itu (Pemanfaatan media sosial),” katanya.
Yossa melihat, isu SARA berkaitan erat dengan pemahaman yang baik. Pemahaman yang baik berkaitan erat dengan edukasi dan pendidikan yang baik juga.
Pemahaman tentang keberagaman mesti diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan.
“Menurut saya, memang dalam aspek pendidikan dan edukasi soal hal tersebut masih agak kurang, sehingga masih banyak pihak yang kemudian belum bisa memahami perbedaan dan keberagaman yang ada. Inilah peran negara harus hadir terutama dalam bidang pendidikan itu agar pemahaman yang luas akan keberagaman dan kebhinekaan tercipta dengan baik,” ujarnya. (Joy)
Editor: Bobby