Jakarta, JurnalBabel.com – Bambang Soesatyo telah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama 9 wakilnya. Mereka pun mewacanakan untuk amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun wacana itu dinilai karena MPR kurang kerjaan.
“Konteksnya biar ada sedikit kerjaan MPR agar tidak sosialisasi 4 pilar terus,” kata dosen hukum tata negara Universitas Pancasila, Muhammad Rullyandi, di Jakarta, Kamis (10/10/2019) malam.
Menurutnya, reformasi dilakukan sebagai perbaikan terhadap sistem yang ada sebelumnya. Pemilihan presiden oleh rakyat berdasarkan UUD. Tidak lagi dipilih MPR. Sementara GBHN sejak reformasi itu sudah beralih pada RPJM-P yang dibuat oleh Bappenas. Presiden misi visinya jadi terarah dan diberikan keluasaan untuk membangun pemerintahan.
“Amandemen tidak dilarang tetapi harus dilihat konteksnya seperti apa. Kalau mau menata negara silakan saja tetapi kalau mereka menempatkan sebagai lembaga tinggi negara, apa konsekuensi hukumnya bagi negara?” tanya Rullyandi.
Lebih lanjut Rullyandi mencontohkan wacana pindah ibu kota ke Kalimantan. MPR bilang jangan sekarang nanti saja 10 tahun lagi. “Haluan negara loh ini, jangan sekarang. 2029 nanti baru boleh. Kira-kira presiden mau ikut yang mana? Bappenas sudah mengkaji 2024 sudah jalan,” paparnya.
Lalu apabila sekarang dibangun GBHN dan kenyataannya GBHN tidak sesuai dengan Bappenas, haluan negara, apakah presiden bisa diberhentikan oleh MPR? Tidak bisa karena di UUD tidak atur diberhentikan karena langgar GBHN. “Harus dirubah pasal 7 nya Presiden dapat diberhentikan selain melanggar hukum, korupsi dan sebagainya, ditambah melanggar GBHN,” jelasnya.
Rullyandi tidak mempermasalahkan amandemen UUD, tetapi harus berkoordinasi dengan lintas sektoral agar selaras. “Jadi MPR punya tim pengkajian, Bappenas juga, kemudian disusun bersama. Yang penting jangan ada perbedaan antara MPR dengan Bappenas,” pungkasnya.