Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR Amin Ak mengkritisi kebijakan impor raw sugar dan kinerja BUMN farmasi saat kunjungan kerja ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI dan PT Phapros di Jawa Tengah, Rabu (22/7/2020).
Di PTPN, Amin mendesak pemerintah memberikan kuota impor raw sugar untuk BUMN pemilik pabrik gula sesuai kapasitas pengolahan dari rawa sugar menjadi gula kristal putih (GKP), atau biasa disebut proses rafinasi oleh pabrik gula milik BUMN. Langkah tersebut sekaligus mengurangi dominasi impor raw sugar oeh perusahaan swasta.
Saat ini kapasitas pengolahan raw sugar menjadi GKP oleh BUMN pengelola gula mencapai 455 ribu ton per tahun atau sekitar 10% dari total impor raw sugar yang mencapai 4 juta ton per tahun.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, kebutuhan gula untuk industri dan rumah tangga mencapai 6 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 2 juta ton per tahun.
Amin juga mendesak pemerintah memberikan kepastian besaran kuota impor gula untuk BUMN pemilik pabrik gula paling lambat di awal tahun.
Hal itu untuk memberi kesempatan kepada BUMN bisa menyiapkan lini produksi pengolahan raw sugar menjadi GKP.
Ia pun meminta Kementerian BUMN dan Kementerian Perdagangan membuat kesepakatan bersama terkait kepastian kuota itu.
Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) VI dari Fraksi PKS itu, juga mengingatkan pentingnya revitalisasi pabrik gula secara menyeluruh. Mulai manajemen sampai sarana prasarana produksi.
Menurutnya, pabrik dengan peralatan kuno tidak akan efisien. Diperlukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
“Biaya revitalisasi pabrik gula milik BUMN hanya sekitar Rp3 miliar. Namun ini sangat strategis dalam konteks ketersediaan gula di dalam negeri,” kata Amin.
Selain itu, politisi PKS ini juga mendesak manajemen PTPN agar menjadikan petani mitra strategis dan mendorong mereka menjadikan komoditas tebu pilihan pertama mereka.
Amin minta holding PTPN berupaya keras mencukupi kebutuhan gula dengan berbagai langkah strategis, utamanya pendampingan ke petani tebu hingga perbaikan sarana produksi. Pemberdayaan petani tebu penting agar bahan baku untuk pabrik gula bisa terpenuhi sekaligus mengurangi ketergantungan impor.
“Selama ini petani-petani menjadikan tanam tebu sebagai pilihan kesekian,” bebernya.
Sementara itu saat berkunjung PT Phapros di Semarang, Jawa Tengah, Wakil Rakyat asal Dapil Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu mempertanyakan penurunan kinerja BUMN Farmasi PT Phapros usai bergabung ke dalam group Kimia Farma yang menjadi holding BUMN Farmasi.
Alih-alih melipatgandakan pendapatan, laba PT Phapros tahun 2019 menjadi Rp102,31 miliar, turun dibanding tahun 2018 yang mencapai Rp133,29 miliar atau turun sebesar 23,2%.
Amin menyoroti kinerja PT Kimia Farma (Persero), perusahaan induk Phapros, yang kinerjanya menurun signifikan. Mengutip laporan keuangan Kimia Farma yang disampaikan Direksi Kimia Farma saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (21/4/2020) lalu, posisi laba bersih perseroan (setelah pajak) pada 2018 sebesar Rp491,56 miliar berbalik menjadi rugi bersih Rp12,72 miliar pada 2019.
Amin juga menilai market share produsen obat pelat itu terbilang kecil bila dibandingkan perusahaan swasta. Saat ini total pangsa pasar industri farmasi nasional mencapai sekitar Rp88,36 triliun per tahun dan diperebutkan oleh 250-an perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) ini mendorong BUMN Farmasi untuk mencapai target penguasaan market share sebesar 7%-10% yang dicanangkan saat pembentukan holding BUMN Farmasi tahun lalu. Menurut Amin, dengan pertumbuhan pasar (market size) yang mencapai 10% per tahun, terbuka lebar bagi BUMN Farmasi untuk melipatgandakan market sharenya secara nasional.
“Manajemen Phapros harus memperbaiki kinerjanya. Jangan kalah gesit dari perusahaan swasta. Janji untuk menurunkan impor bahan baku obat juga harus segera direalisasikan,” tegas Amin.
Lebih lanjut Amin mengatakan, BUMN Farmasi wajib memperkuat riset dan pengembangan (R&D) baik dari sisi sumber daya manusia maupun anggarannya agar mampu mendongkrak tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) industri obat-obatan dan alat kesehatan. Dengan riset yang kuat, pemanfaatan sumber bahan baku obat di dalam negeri bisa ditingkatkan sehingga kemandirian industri farmasi bisa diwujudkan.
“Setiap tahun devisa kita terkuras lebih dari US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun untuk impor bahan baku obat. Padahal keanekaragaman hayati Indonesia sangat besar dan berlimpah, terbesar kedua di dunia setelah Brasil,” kata Amin. (Bie)