Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Ela Siti Nuryamah menyatakan pihaknya akan memediasi semua kepentingan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
“FPKB mencoba mediasi semua kepentingan yang ada bahwa semuanya biasa terasa nyaman. Baik itu dari sisi pengusaha, pekerja/buruh atau naskah yang dicantumkan pemerintah, PKB pasti mengambil sikap yang tidak merugikan semuanya,” kata Ela Siti Nuryamah di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Badan Legislasi (Baleg) DPR dan sejumlah perwakilan serikat buruh telah sepakat membantuk Tim Perumus (Timus) yang akan membahas sejumlah pasal krusial dalam klaster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker pada Kamis dan Jumat (20-21 Agustus 2020).
Sebelumnya tim perumus dibentuk, sebut Ela yang juga anggota Baleg DPR ini, terdapat 16 serikat buruh/pekerja beraudiensi ke DPR. Mereka mempermasalahkan terkait pengaturan upah, jam dan perjanjian kerja yang dinilai merugikan buruh/pekerja. Sebab itu, FPKB akan mediasi hal itu.
“Intinya kita lakukan kajian bersama untuk membahas pasal-pasal krusial kita cari jalan tengahnya,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR ini memaparkan pasal-pasal yang dikritisi fraksinya. Pertama, Upah Minimal Kabupaten, Provinsi dan nasional.
“Kita sepaham ketika upah minimal provinsi (UMP) bagi kabupaten atau kota yang menerapkan daerah industri, itu akan merugikan pekerja yang mengambil hak per bulannya karena pakai UMP. Padahal di Kabupatennya daerah industri,” jelasnya.
Kedua, pengaturan lahan fungsi hutan. Di dalam draft RUU Ciptaker dari pemerintah, kata Ela, 30 persen lahan untuk hutan lindung dihapus. “Kita kekeh tetap harus dicantumkan. Hutan di seluruh kota tidak boleh untuk bangunan semua. Tetap harus ada batas minimal dalam rangka menjaga lingkungan,” tegasnya.
Ketiga, kewenangan daerah diambil semua oleh pemerintah pusat. Dalam draft RUU Ciptaker memang menarik kewenangan daerah diatur semuanya ke pusat. Menurut Ela, hal itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang mengatur adanya otonomi daerah dengan sistem desentralisasi.
Sehingga fraksinya mempertanyakan hal itu. Kini hal itu sudah di respon oleh pemerintah. Padahal akhirnya semua aturan, baik perizinan usaha, harus ada Norma Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sementara, pemda tinggal menjalankan NSPK yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Sekarang aturannya dari pusat, yang menjalankan daerah,” pungkas legislator asal Lampung ini. (Bie)