Misteri keberadaan Harun Masiku, salah satu tersangka dan buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga kini mencapai 1 tahun. 8 Januari 2020 sampai dengan 8 Januari 2021 masih belum terjawab dan belum ada titik terangnya.
Sangat janggal jika KPK yang selama ini dikenal handal menangkap buronan dengan segala kekuatannya, termasuk kekuatan lembaga negara yang mendukung, belum dapat menemukan politisi PDIP itu yang terkait dalam kasus suap PAW anggota DPR RI bersama eks Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan.
jika KPK terlalu lama dan tidak dapat menemukan Harun Masiku, maka perlahan pikiran publik yang terbentuk “akan menjadi liar” dan yang terburuk dapat menduga seperti “ada kesengajaan untuk hilang atau menghilang” atau bisa jadi dianggap pencarian KPK yang tidak maksimal. Termasuk ada fakta yang ditutupi yang patut diduga ada kepentingan tertentu dilindungi.
Padahal jika dibandingkan dalam kasus Nazaruddin eks bendahara umum Partai Demokrat pada tahun 2011 itu, bisa kok ketangkap, dimana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, pada waktu itu mengatakan berhasilnya penangkapan Nazaruddin atas kerjasama yang solid antara interpol, Polri, KPK, Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Luar Negeri. Jadi akses penangkapan untuk Nazaruddin sangat transparan dan informasi di publik sangat terbuka.
Namun karakteristik dalam kasus Harun Masiku, cendrung lebih sulit terbuka, minim informasi guna mengungkap motif, modus pelakunya termasuk mengungkap pihak-pihak yang membantu Harun Masiku. Apalagi dengan skema pencarian dengan tipologi kejahatan seperti ini akan jadi sulit menemukannya akibat akses yang cendrung tertutup. Termasuk upaya mendorong guna mengungkap agar tindak pidana ini menjadi jelas dan terang.
Biasanya pelaku seperti Harun Masiku ini diarahkan untuk “menahan diri sendiri” agar tidak muncul kisruh (heboh) di publik lebih lebar. Bisa saja ada pihak yang mendesign untuk ini dan pihak-pihak ini biasanya berkepentingan , sehingga pelaku “harus dilindungi” dan “diamankan” karenanya sulit mengungkap pelaku dengan tipilologi seperti ini.
Jadi elit negara yang selalu menyampaikan “bahwa Negara tidak boleh kalah dengan kekuatan penekan mana pun” tidak efektif dalam kasus ini.
Sehingga terlihat dengan rentang waktu yang sudah 1 tahun maka akan muncul penilaian publik, dimana akan terlihat potret wajah “penegakan hukum yang anomali”. Termasuk timbulnya angggapan di sebahagian masyarakat bahwa jargon “negara tidak boleh kalah” tidak bisa dioperasionalkan dalam kasus Harun Masiku.
Padahal kalaupun KPK ada hambatan akibat hal-hal tertentu, KPK bisa gunakan ancaman pidana bagi pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses penegakan hukum di tanah air. Ada sanksi pidana bagi siapapapun yang mencoba menghalangi petugas penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.
Maka apapun faktanya antara harapan dan kenyataan yang tidak sama, tentu sikap harus optimis demi penegakan hukum tetap dipertahankan dan dijaga.
Maka dengan pengangkatan 6 Jendral polisi di gedung Merah Putih pada selasa (5/1/2020), berharap KPK dapat menambah energi dan memaksimalkan kinerja KPK termasuk dapat mendorong tim satgas yang dibentuk khusus untuk jadi tim pemburu kasus Harun Masiku guna lebih maksimal, agar salah satu PR buron KPK ini dapat tertangkap. Termasuk kasusnya terselesaikan dengan segera serta ada kepastian hukum.
Padahal diketahui tersangka lain dari kasus suap ini semuanya sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan dan hukuman ini pula tidak berlaku bagi Harun Masiku sampai saat ini.
Azmi Syahputra
Pengurus Perhimpunan Dosen Hukum Pidana Indonesia (Dihpa)/dosen hukum pidana Universitas Bung Karno Jakarta